(2) SUDAH JELAS
Rama masih menatap
gadis didepannya dengan lekat. Kemudian ia menutup matanya untuk
beberapa detik, menghirup nafas dan menghembuskannya perlahan. Ia harus
membuat Ezy percaya apa yang sebenarnya terjadi padanya dua tahun yang
lalu. Gadis itu diam menatap kaki kecilnya yang saat ini berusaha untuk
pergi meninggalkan laki-laki yang mencengkram erat lengannya. Namun,
entah mengapa ada sesuatu yang membuatnya diam hingga tak bisa untuk
melangkahkannya.
"Ayahku meninggalkan banyak hutang
semenjak kepergiannya. Ibu dan aku baru tahu ketika konglongmerat itu
menagihnya. Dan kamu tau, ayah menjadikan aku sebagai jaminannya. Putri
konglomerat itu menyukaiku, dan dialah salah satu alasan mengapa akulah
yang menjadi jaminannya. Putrinya menginginkan aku untuk menjadi
kekasihnya,,,,"
"Dan kau mau begitu saja? bahkan
meninggalkan aku yang sedang rapuh? dan jika begitu mengapa kau
kembali?" Ezy mendongakkan kepalanya. memberanikan mata coklatnya
menatap langsung pada pemilik tatapan tajam itu. Tatapan Rama melemah.
"Semudah itukah aku melupakanmu yang sangat aku cinta. Seandainya aku
mempunyai segunung uang dan tak kulihat tangisan ibu saat itu, aku akan
tetap disini bersamamu. Namun sungguh uang membuat cintaku hancur Ezy,"
Rama melepas lengan Ezy yang digenggamnya sedari tadi.
"Zy,
bisakah kau mempercayai ucapanku? sampai detik ini pun aku masih sangat
mencintaimu. Tatap aku!" Rama menarik kembali lengan gadis itu. Namun
Ezy memalingkan wajahnya menatap pada jendela yang memperlihatkan
birunya langit. Itu tidak mungkin Ezy lakukan. Karena ia tau tatapan
Rama akan membuatnya luluh begitu saja.
"Zy!!" laki-laki
berambut agak pirang itu mengangkat paksa dagu gadis didepannya yang
masih memalingkan wajah. Berhasil ia membuat Ezy menatap mata hitamnya.
Ia mulai melanjutkan ucapannya.
"Percayalah padaku Zy.
Penjelasan yang ku jelaskan tadi adalah kenyataan. Hatiku benar-benar
sakit. Dua tahun aku harus meninggalkanmu demi putri konglongmerat itu.
Namun tak sedikit pun rasaku padamu meluruh. Mungkin memang, saat ini
putri konglomerat itu masih mencintaiku dan tetap memaksaku untuk
menjadi kekasihnya. Aku sudah tak tahan Zy dengan kehidupanku yang
membuatku jauh darimu."
Kali ini Ezy menatap lembut pada
Rama. Ia melihat kepediahan dalam kornea hitam laki-laki yang dulu
pernah menjadi kekasihnya. Ezy menghirup nafas dalam-dalam, "Sebenarnya
sulit untukku mempercayai semua yang kau jelaskan. Namun tatapanmu itu
membuatku yakin. Ram, bagaimana keadaanmu sekarang? ibumu bagaimana jika
kau kembali padaku?."
"Ibu sudah tau tentang perasaaku
padamu. Dan aku tidak peduli dengan perasaan putri konglomerat yang
hanya mengandalkan uang untuk mendapatkan cinta. Kamu tenang saja aku
sekarang sudah mendapat pekerjaan tetap. Tidakkah kau melihat kamera
yang mengalungi leherku?" Rama tersenyum tulus.
"Anggap saja
putri konglomerat itu adalah tembok tipis yang berusaha untuk memisahkan
kita. Namun tak berhasil," Rama melanjutkan perkataannya yang terputus
dengan sebuah senyuman. "Masih bolehkah aku mengacak-ngacak rambut
jelekmu Zy?."
Ezy mundur beberapa langkah setelah
mendengar permintaan Rama, cemberut. Ia pun mengernyitkan dahi,
menantang. Rama tersenyum geli melihat ekspresi Ezy, akhirnya tangannya
berhasil menggapai rambut Ezy dan mengacak-ngacaknya. Sampai detik ini
Rama tak pernah lupa, dulu hampir setiap hari ia mengacak rambut gadis
itu. Sedangkan si Ezy...
"Apaan sih. Sini kamu!" Ezy menarik hidung mancung laki-laki itu tanpa ampun.
"Auu, sakit!," keluh Rama.
Ezy menjulurkan lidahnya. Entahlah ia merasa lebih tenang saat Rama
mengacak-ngacak rambutnya. Ia memang menyukai tindakan itu, dan Rama
juga sering melakukannya dulu. Ah sudahlah, penjelasan dan sikap Rama
saat ini sudah menjelaskan semuanya. Ia percaya. Sebuah penjelasan
memang untuk didengarkan karena dengan mendengarkannya kita mampu
memahaminya dan mengetahui bahwa apa yang kita sangka tak selamanya
seperti yang orang lain kira.
Jumat, 24 Oktober 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar